MATARAM (ntbupdate.com)- Tantangan tahun 2023, membuat sejumlah Universitas atau kampus berbenah, terutama dalam hal peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), mahasiswanya di masing-masing prodi.
Baru baru ini, fakultas hukum Universitas Al Azhar (Unizar) Mataram telah melakukan penandatanganan Kerjasama (PKS) dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi NTB dan Pengadilan Tinggi Mataram, dalam hal cara menyelesaikan sengketa kesehatan melalui jalur hukum.
Masing-masing pemateri memberikan materi secara bergiliran, Kuliah umum tersebut mengambil tema “Masa Depan Pengadilan Medis Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Kesehatan Di Indonesia”
Hadir rektor UNIZAR Dr. Ir. M. Ansyar. MP, Wakil rektor I Dr. Drs. Sahar, SE.MM, Wakil Rektor II Siti Ruqayyah, S.Si.,M.Sc, Dekan fakultas hukumDr. Ainuddin, SH. MH dan civitas akademika fakultas hukum unizar,
Ketua panitia M. Ikhsan Kamil, SH.,MKn mengatakan, memberikan pandangan terkait tema di atas, yang mengangkat mengenai Hukum kesehatan Penyelesaian sengketa medis yang ditempuh oleh pasien, seringkali melalui jalur hukum dari pada melalui organisasi profesi tenaga kesehatan.
Ketika dokter atau tim medis dilaporkan ke polisi oleh pasien, tentunya butuh proses panjang mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga proses pengadilan.
Hal ini cukup memberikan dampak yang sangat merugikan bagi tenaga medis, reputasi dan nama baik, risiko kehilangan pekerjaan. Secara psikologis juga memberikan dampak yang cukup berat karena situasi dan prosedur di sidang pengadilan yang dianggap penuh tekanan.
Sementara itu, dalam sambutannya dekan fakultas hukum Unizar Dr. Ainuddin,SH ,MH, menjelaskan berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 14 UU Praktek Kedokteran, menyatakan bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menerima pengaduan serta memeriksa dan menentukan ada tidaknya kesalahan seorang dokter dalam melakukan tindakan medis dan menetapkan sanksi.
Namun pada perkembangannya persoalan hukum yang berkembang terkait dengan praktek kedokteran menempatkan dokter atau tenaga Kesehatan lainnya pada posisi yang salah meskipun secara etika seorang dokter atau tenaga Kesehatan lainnya telah melakukan Tindakan sesuai dengan prosedur.
Hal ini salah satunya disebabkan jika perkara hukum yang khusus berkaitan dengan Tindakan medis seorang dokter atau tenaga Kesehatan lainnya di periksa dan diadili oleh seseorang yang hanya berlatar belakang hukum saja maka akan melihat persoalan dari sisi normatif tanpa mempertimbangkan dari sisi prosedural Tindakan medis yang diambil tersebut.
Oleh karena itu muncul berbagai pemikiran mengenai perlunya pengadilan khusus atau kamar khusus baik bersifat tetap maupun adhoc untuk menyelesaikan sengketa bidang kesehatan, dimana hakim pengadilan khusus ini berasal dari unsur dokter atau tenaga Kesehatan lainnya. Kompetensi pengadilan dalam menyelesaikan sengketa di bidang Kesehatan baik secara pidana maupun perdata, harus mampu memberikan keadilan kepada semua pihak terutama kepada tenaga medis.
Ketua IDI wilayah NTB dr. Ahmad Fadhli Busthomi,M.Biomed.SPOG, menyatakan, penyelesaian sengketa medis yang selama ini berlaku dan bagaimana kemungkinan hadirnya pengadilan khusus medis.
Sengketa medis merupakan perselisihan yang timbul akibat hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya melakukan penyembuhan. Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif.
Dalam hubungan tersebut, superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis jelas terlihat, yaitu hanya ada kegiatan aktif dari pihak dokter sedangkan pasien bersifat pasif. Sikap pasif dari pasien tentunya didasari rasa kepercayaan terhadap kemampuan dokter untuk melakukan penyembuhan atau pengobatan.
Melihat dari sisi hubungan hukum antara dokter dengan pasien dapat terjadi karena dua hal, yakni hubungan karena kontrak (terapeutik) dan hubungan karena undang-undang (zaakwarneming). Dalam hubungan kontrak, dokter dan pasien telah dianggap sepakat melakukan perjanjian apabila dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien, sedangkan hubungan karena undang-undang muncul karena kewajiban yang dibebankan pada dokter.
Biasanya lanjutnya, pihak dokter maupun rumah sakit akan meminta persetujuan pasien ataupun keluarga pasien (bagi pasien di bawah umur atau tidak sadar) secara tertulis dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis.
Selanjutnya, biasanya penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien adalah jika timbul ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan. Ketidakpuasan ini dikarenakan adanya dugaan kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan tugasnya sehingga menyebabkan kerugian pada pihak pasien.
Seringkali sebab terjadinya sengketa medik karena informasi medik yang kurang lengkap, terlambat disampaikan, atau bahkan salah memberikan informasi sehingga berimbas pada tindakan medis yang dilakukan.
Jalur Hukum Pidana karena ada beberapa unsur delik baik yang diatur dalam KUHP maupun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sedangkan melalui Hukum Perlindungan Konsumen, terlepas dari polemik apakah hubungan dokter dan pasien bisa disamakan dengan hubungan pelaku usaha dan konsumen, penyelesaian sengketa dapat melalui Peradilan Umum atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Sedangkan melalui jalur etika, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran telah mengamanatkan pembentukan MKDKI, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menengakkan etika profesi kedokteran.
Sementara itu pakar hukum Prof.Dr.HM. Galang Asmara, SH.,M.Hum menjelaskan, keinginan akan adanya Pengadilan Medis sebagai lembaga penyelesaian sengketa kesehatan di Indonesia sudah lama diwacanakan oleh berbagai kalangan baik oleh akademisi maupun praktisi, namun hingga saat ini pengadilan dimaksud belum terbentuk. IDI sendiri sudah mengusulkan pembentukan pengadilan medis jauh sebelum UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ditetapkan.
Dimana waktu itu IDI sebenarnya menghendaki pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis. Untuk mewujudkan keinginan tersebut IDI bahkan telah menyusun dan mengusulkan pasal-pasal mengenai pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis untuk dimasukkan ke dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Namun ketika UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tersebut disahkan pasal-pasal yang diusulkan tidak muncul. Dengan kata lain usul pembentukan lembaga peradilan Medis tidak terkabulkan. Hingga saat ini pun keinginan tersebut belum dapat terwujud.
Pengurus NW ini menambahkan, adapun alasan perlunya peradilan medis tersebut antara lain, sistem penyelesaian sengketa medis saat ini belum memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Menurut UU Kesehatan, sistem penyelesaian sengketa medis saat ini adalah dengan mewajibkan upaya mediasi terlebih dahulu. Apabila upaya mediasi tidak berhasil, maka kemudian pengadilan berwenang untuk menyelesaikan sengketa medis.
Penyelesaian sengketa medik yang paling ideal antara dokter dan pasien dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu sisi pasien, sisi dokter, dan sisi prosedur. Jika dari sisi pasien, tentu penyelesaian sengketa melalui jalur etika bukanlah pilihan yang memuaskan. Karena bukan saja materinya dibatasi hanya terkait etika profesi, tapi dari topik pembahasan yang bersifat tidak umum dan sulit dipahami orang awam. Selain itu, kemungkinan putusan yang diambil melalui jalur ini bersifat administratif yang umumnya tidak berhubungan langsung dengan pasien, sehingga bisa menimbulkan ketidakpuasan bagi pasien. Sedangkan jika di ilihat dari sisi dokter, tentu jalur ini lebih baik. Karena Majelis Pemeriksa Disiplin pada MKDKI yang memeriksa dugaan pelanggaran berasal dari latar belakang kedokteran dan sarjana hukum, sehingga secara psikologis lebih mudah untuk Beragumentasi. Putusan yang berupa skorsing dan penghentian sementara izin praktek masih membuka peluang bagi dokter untuk tetap menjalankan profesinya tanpa harus kehilangan nama baik karena proses sidang pemeriksaan disiplin dilakukan secara tertutup.
Jika melalui jalur Peradilan Umum, baik sisi pasien maupun sisi dokter bukanlah pilihan yang ideal, mengingat proses pemeriksaannya yang relatif lama, biaya perkara yang relatif tinggi, serta sulitnya pembuktian. Belum lagi sifat pemeriksaan perkara yang terbuka untuk umum akan berisiko merugikan nama baik kedua belah pihak.
Sementara itu pengadilan tinggi Mataram Dr. Ketut Sudira,SH.,MH menyatakan, penegakan hukum Kesehatan dibentuk sebuah pengadilan khusus atau kamar khusus baik sifatnya tetap maupun adhoc di Indonesia, Proses sebuah penyelesaian sengketa medis yang ditempuh oleh pasien seringkali melalui jalur hukum dari pada melalui organisasi profesi tenaga.
Senada disampaikan ketua IDI kota Mataram dr.Akhda Maulana,Sp.U menjelaskan, sebagai dokter anggota IDI kota Mataram pasti mempunyai risiko atau mengalami masalah hukum. Untuk itu dengan adanya kerjasama ini, maka IDI kota mataram akan banyak berdiskusi terkait permasalahan dalam kaitannya dengan hukum kesehatan serta memberikan pendampingan kepada para dokter jika terdapat permasalahan hukum. (nu-01)